Ketika
pengguna batik meluas ke luar tembok kraton, timbulah yang disebut
“batik sudagaran” dan “batik petani”. Kedua jenis batik ini bertolak
dari batik kraton, tetapi kemudian berkembang secara terpisah dalam
pengaruh lingkungan masing-masing. “Batik Sudagaran” adalah wastra
(sandangan atau jarit) batik yang dihasilkan oleh kalangan saudagar
batik, polanya bersumber pada pola-pola batik kraton, baik pola larangan maupun pola batik kraton lainnya, yang ragam hias utama serta isen
polanya digubah sedemikian rupa sesuai dengan selera kaum saudagar.
Sedang batik petani merupakan hasil karya perajin yang tinggal
dipedesaan.
Adanya pola larangan
mendorong para seniman batik di lingkungan kaum saudagar menciptakan
pola-pola baru sesuai dengan selera masyarakat saudagar atau mengubah
pola larangan sedemikian rupa sehingga pola-pola tersebut dapat dipakai
oleh masyarakat umum. Mereka mengubah pola batik kraton-batik kraton
dengan isen-isen yang rumit dan mengisi latar dengan cecek atau bentuk isen lain hingga tercipta batik saudagaran yang indah. Dikawasan kraton Surakarta, misalnya, pola-pola parang ditambah dengan ragam buket, buntal, atau ragam hias lain (gb. 45, dan gb. 46).
Warma merah khas buket-nya, yakni merah mengkudu dibuat di daerah Lasem, warna biru muda dibuat di Kudus atau Pekalongan, sedang warna soga untuk isen latar dikerjakan di Surakarta, Yogyakarta, atau Banyumas. Isen latar batik tiga negeri biasanya terdiri atas pola parang dan pola-pola kelompok geometri, antara lain kawung, ceplok, atau ragam hias ukel.
Sarung tiga negeri (gb. 53) sangat digemari oleh masyarakat Belanda dan
China di Jawa, bahkan masyarakat Melayu di Sumatera dan Malaya pun
menyukainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar